Suku Dayak Dusun adalah salah satu etnis Dayak terbesar di Kalimantan Tengah yang mendominasi wilayah pesisir (pantai) aliran sungai Barito (dari Barito Selatan sampai dengan Murung Raya). Namun demikian banyak dari sub suku ini menyangkal bahwa mereka berasal dari suku Dusun.
Suku Dayak Dusun dengan nama yang sama juga terdapat di negeri Sabah, tetapi berbeda rumpun yaitu masing dari rumpun Dayak Ot Danum dan Murut.
Ritual Adat Dayak Dusun : Upacara Wara
Wara merupakan ritual upacara dalam rangka membagikan bagian harta benda kepada arwah kakek, nenek atau orangtua atau saudara dari keluarga – keluarga penyelenggara upacara wara yang telah meninggal satu atau dua tahun yang lalu. Pembagian harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk sesajen berupa makanan dan minuman sesuai makanan kebiasaan arwah orang yang diupacarai tersebut. Yang menjadi wadian wara atau petugas khusus berhubungan dengan roh jiwa orang meninggal yang di upacarai adalah Wadian wara dengan kostum pakai ikat kepala putih.
Wadian Wara dibantu oleh pelayan-pelayannya yang disebut Pangading. Mereka melakukan upacara demi upacara, misalnya ; makan diau (memberi makan arwah), dan nutui lalan diau nuju gunung lumut ( mengantar arwah dalam perjalanan ke surga). Prosesi hari pertama adalah ngamaner wara artinya menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan roh yang diupacarai kepada wadian wara.
Proses pada hari kedua sampai hari ke tiga adalah keluarga penyelenggara menerima tamu baik dari desa sendiri maupun dari desa sekelilingnya, yakni tokoh-tokoh masyarakat.
Hari keempat acara Babea-Babebe yakni acara membuat ansak berupa anyaman bambu sedemikian rupa sebanyak arwah yang diupacarai wara, untuk tempat sesaji setelah dilakukan pembunuhan kerbau besoknya pada hari kelima. Tokoh yang hadir pada hari kelima adalah, Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan, pejabat Pemerintahan setempat.
Sebelum penusukan kerbau, ada ritual main judi dan sabung ayam ala Liau (roh yang telah meninggal) antara manusia dengan Roh yang telah meninggal, serta permainan Tinak Santukep. Pembunuhan kerbau dilakukan oleh petugas dari keluarga – keluarga yang diupacarai dengan ditusuk menggunakan lading atau badik atau pisau lancip sedangkan kerbaunya diikat pada Pantogor yakni patung arwah yang diupacarai terbuat dari kayu ulin setinggi lebih kurang 3 meter yang ditancap di tanah lapang. Selesai pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama tamu undangan. Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut diatasa dan harta benda lainnya diantar ke kuburan oleh masing-masing keluarga pada hari keenam atau hari terakhir wara.
Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang nenek moyang kaum keluarga disebut Si’at yang rata-rata diberi atap dengan 4 tiang penyangga, tetapi ada juga yang disemayamkan di Kariring semacam kotak mayat memuat beberapa tulang belulang mayat keluarga ditempatkan diketinggian lebih kurang 3 meter dari permukaan tanah. Upacara ngariring lebih besar dari upacara wara.
Sumber : wikipedia